Ingat tidak saat kita harus menghadapi situasi yang menegangkan tubuh terkadang jadi memberikan reaksi tertentu seperti sakit perut, jantung berdebar-debar, sampai asam lambung naik? Reaksi ini dalam ilmu kedokteran disebut gejala psikosomatik. Atau pernah tidak suatu waktu merasa tidak enak badan tanpa sebab lalu saat diperiksakan ke dokter ternyata hasilnya baik-baik saja? Ini juga disebut gejala psikosomatik. Psikosomatik sendiri bisa dilihat sebagai sebuah ilmu yang memelajari antara pikiran dan tubuh manusia. Seseorang yang mengalami gejala psikosomatik biasanya berada dalam situasi yang membuatnya mengalami gejala sakit fisik. Sebab sebenarnya pikiran yang stres bisa mengaktifkan sistem saraf tubuh yang bisa menghasilkan gejala-gejala penyakit fisik tanpa ada kerusakan organ.
Pikiran yang stres bisa mengaktifkan sistem saraf tubuh yang bisa menghasilkan gejala-gejala penyakit fisik tanpa ada kerusakan organ.
Ketika pikiran sedang mengalami stres berkepanjangan, tubuh bisa mengalami kelelahan dan membuat sistem saraf otonom di dalamnya tidak seimbang. Di saat yang bersamaan akhirnya menghasilkan sensasi gejala fisik tapi tidak merusak organ apapun di dalam tubuh. Akan tetapi sebenarnya gejala psikosomatik tidak perlu terlalu dikhawatirkan apabila tidak berkepanjangan. Jadi gejala psikosomatik ringan, sedang dan berat ditentukan dari seberapa besar dan sering gejala tersebut memengaruhi kegiatan sehari-hari. Biasanya kalau seseorang mengalami gejala psikosomatik secara terus menerus selama lebih dari enam bulan. Lalu dalam satu minggu empat hari selalu merasakannya terus. Baru itu dikategorikan gangguan psikosomatik kronis.
Sayangnya, kebanyakan kasus gangguan psikosomatik kronis sering diabaikan oleh banyak orang karena mereka tidak merasa stres. Sepertiga pasien psikosomatik merasa tidak sedang mengalami gangguan pikiran tapi merasa ada gangguan fisik yang membuat kurang nyaman. Namun saat diperiksakan ke dokter hasilnya bagus. Tidak terjadi apa-apa dalam tubuhnya. Ini bisa jadi disebabkan oleh internalisasi stres yang dilakukan orang tersebut sehingga stres yang ada dalam pikiran dianggap sesuatu yang wajar. Padahal mungkin kalau dieksplorasi lebih lanjut dengan teknis Psikoterapi pasti ada stres yang menyebabkan timbulnya gejala psikosomatik tersebut. Makanya belakangan praktik mindfulness cukup membantu untuk penyembuhan gangguan psikosomatik. Pasien dilatih untuk menyadari seikhlas mungkin pikiran-pikiran yang sedang mengganggu atau sudah mengganggu sejak lama.
Belakangan praktik mindfulness cukup membantu untuk penyembuhan gangguan psikosomatik. Pasien dilatih untuk menyadari seikhlas mungkin pikiran-pikiran yang sedang mengganggu atau sudah mengganggu sejak lama.
Permasalahan yang belum selesai di masa lalu nyatanya bisa sekali menjadi pemicu gejala psikosomatik ketika ada situasi yang mengingatkan. Walaupun secara tidak sadar tapi sebenarnya orang tersebut membangkitkan kembali emosi negatif dalam dirinya yang juga memicu sistem saraf tubuh bereaksi negatif pula. Jeleknya, terkadang orang yang mengalami gejala psikosomatik tapi tidak tahu itu gejala psikosomatik sering dianggap enteng oleh orang di sekitarnya. Sulitnya adalah tidak ada bukti penyakit yang jelas sehingga banyak orang menganggap orang tersebut hanya membuat-membuat penyakit saja. Akhirnya dia yang mengalami gejala psikosomatik semakin stres dan membuatnya semakin meningkatkan gejala psikosomatik berkepanjangan.
Permasalahan yang belum selesai di masa lalu nyatanya bisa sekali menjadi pemicu gejala psikosomatik ketika ada situasi yang mengingatkan.
Untuk menyelesaikan gangguan psikosomatik sendiri bisa menggunakan pendekatan biopsikososial. Sebab kalau ditelaah sebenarnya dari sisi biologi, dalam otak orang tersebut mengalami gangguan yang kemudian harus diselesaikan dari sisi mentalnya juga. Sehingga seringkali saya menyarankan pasien yang mengalami gangguan psikosomatik untuk berkonsultasi dengan psikiater. Pertama-tama gangguan fisik yang dirasakan bisa disembuhkan dulu. Contohnya dengan menyeimbangkan serotonin (neurotransmitter atau zat kimiawi di otak penghubung sel saraf) di otaknya, juga sistem HPA axis yang bisa mengurangi terjadinya kelebihan kortisol (hormon yang memicu adrenalin). Seperti kalau seseorang merasa jantungnya berdebar-debar terus padahal tidak ada sejarah sakit jantung. Setelah meringankan gangguan fisik barulah gangguan psikologisnya diselesaikan. Digali lebih lanjut permasalahan yang mungkin belum selesai. Kemudian terakhir diikuti dengan modifikasi lingkungan. Namun terkadang memang modifikasi lingkungan tidak semudah itu dilakukan. Sesuatu yang berada di luar kita tidak bisa kita kendalikan begitu saja. Solusinya adalah mengubah yang ada dalam diri kita sendiri seperti mengubah mekanisme adaptasi, mengurangi pikiran negatif, dan lain-lain.
Sesuatu yang berada di luar kita tidak bisa kita kendalikan begitu saja. Solusinya adalah mengubah yang ada dalam diri kita sendiri seperti mengubah mekanisme adaptasi, mengurangi pikiran negatif, dan lain-lain
Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini lebih banyak orang mengalami gejala psikosomatik. Seakan merasakan gejala terserang corona tapi sebenarnya tidak. Ia hanya stres saja karena kondisi yang tidak bisa dikendalikan dan tidak bisa diprediksi seperti apa. Apalagi kondisi ini sudah cukup berkepanjangan. Tidak semua orang bisa cepat beradaptasi dengan kondisi sulit. Tidak heran banyak orang jadi lebih mudah berpikir negatif dan memicu sistem saraf otak yang menimbulkan gangguan fisik. Oleh karena itu dengan meningkatkan kesadaran atas emosi, perasaan dan pikiran, kita bisa lebih sadar mengetahui apakah memang itu ada di pikiran saja atau memang gejala pasti Covid-19. Namun agar lebih aman memeriksakan ke dokter menjadi jalan utama untuk memastikan apakah gejala yang dirasakan: demam, batuk, gangguan pernapasan, itu gejala terserang Covid-19 atau gejala psikosomatik.